Inspirasi

Rabu, 31 Desember 2008

PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT

Lewat PNPM Mandiri

Oleh : Khairul huda


Saya yakin, Anda pasti pernah ke pasar tradisional. Dan lebih yakin lagi bahwa sekarang Anda lebih sering ke pasar swalayan. Jika kita cermati, ada perbedaan yang cukup prinsip antara pasar swalayan dengan pasar tradisional di bidang permodalan dan kepemilikan.

Pasar swalayan, modalnya besar, berupa modal investasi, sedang pasar tradisional, modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung, pegadaian, atau dari keluarga dekat.

Dari segi kepemilikan, pasar swalayan dimiliki oleh konglomerat, perusahaan CV. Atau PT., sedang pasar tradisional, pemilik usaha adalah rakyat kecil perseorangan.

Di Indonesia, pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang modalnya kecil, bahkan gurem, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus merupakan kredit besar berasal dari Bank. Itu nampak dalam persamaan Keynesian berikut:

Dalam persamaan Keynesian ekonomi makro (Y = C + I + G), rakyat kecil dianggap hanya berkonsumsi (C), sedangkan I (investasi) hanya dapat dilakukan pengusaha besar.

Y = PNB (produk nasional bruto); jumlah total komoditi yang ditawarkan; keseluruhan komoditi yang dihasilkan, atau pendapatan nasional riil

C = Consumption; permintaan agregat, terdiri dari permintaan yang datang dari rumah tangga individu (konsumen)

I = Investment; permintaan yang datang dari rumah tangga perusahaan (produsen)

G = Government; permintaan yang datang dari rumah tangga pemerintah

Nampak jelas bahwa C, terdiri dari permintaan yang datang dari rumah tangga individu (konsumen), sedang I adalah permintaan yang datang dari rumah tangga perusahaan (produsen). Akibatnya ketika terjadi krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar ekonomi Indonesia yang cukup berpengaruh selalu menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para investor kolaps, dan bahkan para pengusaha nasional dan investor asing melarikan modal mereka ke luar negeri yang ditaksir mencapai USD 10 milyar per tahun.

Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya “pelarian” modal besar-besaran ini. Untuk menahan atau menarik kembali modal tersebut, pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga tinggi atau perangsang lain. Dan terjadilah seperti yang kita ketahui bersama, suku bunga deposito mencapai angka fantastis, yakni mencapai angka 40% pertahun pada tahun 1998.

Jika bunga deposito mencapai angka 40%, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah; berapa besar suku bunga bank waktu itu? Karena jelas ada korelasi timbal balik antara suku bunga dengan bunga deposito. Benar sekali. Ketika suku bunga deposito sampai 40%, paling tidak, bank akan menyalurkannya dalam bentuk kredit dengan bunga 42%-45% per tahun.

Tentunya cuma perusahaan mampu yang bakal mengambil dana semahal itu. Jika suku bunga naik terus, lama-lama perusahaan yang mampu pun akan berhenti. Peminatnya tinggal perusahaan yang beroperasi dengan laba tinggi.

Bank akhirnya kesulitan mencari nasabah yang mampu menanggung bunga tinggi. Supaya bank tidak kejeblos, beberapa bank mulai menghentikan pemberian kredit kepada nasabahnya. Sekali-sekali mereka main di pasar uang (interbank). Akibatnya, ada terjadi, sesuatu bank, harus memikul beban bunga deposito yang harus dibayar lebih besar daripada pemasukan suku bunga kredit. Selisihnya bisa mencapai 20%.

Dalam situasi sulit seperti itu, ketika inflasi di tahun 1998 menyentuh angka 58%, di mana rakyat? Adakah kegiatan ekonomi rakyat terhenti? Tidak. Pada lapisan paling bawah, rakyat yang tidak pernah berani mengambil kredit bank untuk mengembangkan usahanya, tetap eksis. Ekonomi rakyat tetap jalan. Pasar tetap buka. Kehidupan tetap harus berjalan terus.

Kenyataan itu menyodorkan pada kita, betapa sebenarnya rakyat yang tidak pernah diperhitungkan keberadaannya (hanya dianggap sebagai C), ternyata mampu memutar roda ekonomi dalam fungsinya sebagai I. Artinya bahwa investasi rakyat dengan modal yang kecil-kecil itu memiliki arti dan nilai besar dalam menyelamatkan perekonomian negara. Gerakan mereka itulah yang disebut sebagai ekonomi rakyat.

Sampai dengan tahun 2006 sejak krisis, pemerintah belum menemukan formula tepat, yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, karena banyak pihak masih menganggap enteng pemodal dalam negeri (domestik) terutama terhadap kekuatan ekonomi rakyat (kecil).

Kekaguman pada modal asing, makin menonjol setelah dibukanya pasar uang dan pasar modal di Jakarta (BEJ, 1977). Mengapa? Karena dalam BEJ berkumpul para ”fund manager” dari seluruh dunia yang pekerjaan utamanya memang “berdagang uang” dan melipatgandakan nilai uang mereka.

Makin besar untung mereka sebagai pedagang uang makin besar penghasilan mereka. Uang atau modal yang diperjualbelikan di BEJ ini bisa secara keliru dianggap sebagai “investasi asing yang riil”, dan penarikannya ke luar negeri dianggap pelarian modal (capital flight).

Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Banyak modal asing ini sekadar diperdagangkan di Jakarta dan tidak pernah diinvestasikan disektor riil. Tidak pernah menyentuh lapisan bawah.

Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga.

Memasuki tahun 2007, pemerintah meluncurkan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. Sebuah program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat lapis bawah baik yang berada di desa maupun di kota, yang selama ini terpinggirkan dan kurang dianggap keberadaannya.

PNPM pada hakekatnya adalah gerakan nasional dalam wujud pembangunan berbasis masyarakat yang menjadi kerangka kebijakan serta acuan dan pedoman bagi pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan.

Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin.

Tujuan umum PNPM adalah upaya percepatan pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan secara khusus bertujuan :

-

Meningkatnya penghasilan kelompok masyarakat miskin;

-

Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, KAT, dan kelompok lainnya yang selama ini terpinggirkan;

-

Terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat terutama masyarakat miskin;

-

Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap berbagai pelayanan dasar;

-

Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap kegiatan ekonomi produktif beserta akses terhadap pendampingan, modal, pasar, informasi, dan inovasi

-

Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat

-

Perbaikan distribusi pendapatan masyarakat

-

Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan layanan masyarakat terutama masyarakat miskin.

Dalam upaya mencapai tujuan PNPM, strategi yang diterapkan adalah melalui pemberdayaan masyarakat seutuhnya dengan mendayagunakan seluruh potensi dan sumberdaya lokal termasuk sumber daya manusia, alam, teknologi, sosial, budaya, dan ekonomi.

Secara umum manfaat yang akan diperoleh melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah penyediaan barang/jasa skala kecil, tidak kompleks, dikerjakan melalui kerjasama lokal (common pool, public & civil goods). Kondisi kegagalan pasar akibat pasar yang tidak sempurna dapat diatasi jika program dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan yaitu dengan tersedianya komplemen aktivitas publik.

Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat maka terjadi keberlanjutan (sustainability) yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek sektoral karena adanya ownership masyarakat. Terjadi efisiensi yang lebih baik dan efektivitas yang lebih tinggi terhadap total biaya, jika dibandingkan dengan menggunakan kontraktor. (penghematan mencapai 30-40 persen).

Pemberdayaan masyarakat mendorong terjadinya internalisasi pembangunan untuk masyarakat miskin dan marginal. Terjadi penciptaan lapangan kerja yang cukup luas di masyarakat. Dan lebih dari semuanya, partisipasi penduduk miskin dalam membangun, bakal menciptakan pembentukan modal sosial yang cukup besar, serta tatapemerintahan yang baik.

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/28/0018.html

http://forum.kafegaul.com/archive/index.php/t-155077.html

http://www.pnpm-mandiri.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar