Oleh : Khairul Huda
Jika Anda bepergian ke arah timur dari Pekalongan, setelah melewati Batang, Kendal dan Semarang, Anda akan masuk ke wilayah Demak. Di sana Anda bisa beristirahat dan salat di Masjid Demak, sebuah Masjid Agung yang banyak menyimpan misteri.
Menurut cerita tradisional sejarah Jawa, tercatat dalam buku-buku cerita yang bertebaran, diceritakan di sana bahwa bangunan masjid itu didirikan oleh para wali bersama-sama dalam waktu satu malam.
Atap tengah Masjid ditopang seperti lazimnya, yakni oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh, melainkan terbuat dari potongan-potongan balok (tatah), yang diikat menjadi satu.
Dikisahkan dalam legenda itu bahwa tiang tersebut adalah sumbangan Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu disusun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan-pekerjaan wali lainnya. Pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh.
Dalam legenda-legenda tentang masjid Demak, Sunan Kalijaga menduduki tempat yang penting. Dialah yang berjasa membetulkan kiblat masjid mengarah ke Mekkah. Sunan Kalijaga jugalah yang memperoleh baju wasiat “Antakusuma”, yang jatuh dari langit di masjid itu, di tengah-tengah para wali yang sedang bermusyawarah.
Cerita mengenai peristiwa itu berbeda-beda. Baju yang juga disebut Kiai Gundil (Gundul) itu dalam cerita tradisional dianggap sebagai salah satu “pusaka” raja-raja Jawa. Panembahan Senapati, raja Mataram pertama yang merdeka, menurut cerita, pada tahun 1590 telah dapat mengalahkan pangeran Madiun karena mengenakan baju tersebut yang membuatnya kebal. Baju itu diterimanya dari pandita di Kadilangu, ahli waris Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1703 baju tersebut masih disebut sebagai salah satu pusaka keraton dalam salah satu surat berbahasa Belanda. Pada waktu itu baju tersebut diserahkan kepada sunan baru, Mangkurat III di Kartasura.
Legenda ketiga tentang Masjid Demak, di samping cerita tentang pembangunan Masjid Demak, dan tentang baju tersebut, ada hubungannya dengan api surga. Legenda itu mempunyai bermacam-macam versi.
Salah satu versinya adalah kisah tentang Ki Gede Sesela (ada yang menyebutnya Ki Ageng Sela), tokoh yang menangkap kilat yang mengganggunya ketika ia sedang berada di ladang. Dibawanya kilat itu ke Masjid Demak kemudian diserahkannya kepada Sultan Demak.
Sebuah relief, yang dibuat di atas pintu gerbang utara bangunan yang sekarang, di sisi kubur, mengingtkan kita akan peristiwa itu. Keterangan itu berdasarkan cerita lama.
Pintu gerbang yang bernama Pintu Bledeg “kilat”, dahulu adalah pintu gerbang utama. Kilat yang telah terkurung untuk beberapa waktu itu, konon kemudian dibebaskan setelah berjanji tidak akan mengganggu lagi, hingga sekarang meskipun hujan deras, di sana tidak ada petir.
Sesela adalah suatu tempat di daerah sebelah timur Demak dengan gejala-gejala vulkanis sehingga tanahya lembek. Akibatnya, jalan di sana selalu rusak parah. Untuk mengatasi tanah yang lembek itu, jalan utama di sana oleh pemerintah dilakukan betonisasi.
Ki Gede Seselo yang legendaris itu sangat dimuliakan sebagai moyang keturunan keluarga raja Mataram. Hingga abad ke-20 ini, dua kali setahun Susuhunan Surakarta menyuruh mengambil api dari lampu di atas makam Ki Gede Sesela, untuk menyalakan lampu di muka ruang sucinya (kobongan, patanen) sendiri, di bagian keraton yang paling dalam. Kalau api Sesela ini tiba di Surakarta dengan arak-arakan yang khidmat, banyak pula pangeran memanfaatkan kesempatan itu untuk menyalakan lampu mereka.
Hingga abad ke-19 Masjid suci Demak menjadi pusat bagi umat Muslim Kuno di Jawa Tengah. Di kalangan itu bahkan ada anggapan bahwa mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Mekkah. Nama Kudus, yang pada abad ke 16 diberikan kepada pusat keagamaan Islam yang lain, terletak tidak jauh dari Demak, berasal dari kata al Quds, nama Arab untuk Yerusalem, juga suatu kota suci bagi orang Islam.
Pantas disebutkan ucapan yang dikemukakan oleh Susuhunan Paku Buwana I di Kartasura pada tahun 1708, yang mengakui bahwa susuhunan yang mendahului beliau, Mangkurat III, yang dibuang ke Sri Lanka oleh Kompeni di jakarta, telah membawa semua pusaka kerajaan. Paku Buwana I berkata bahwa Masjid Demak dan makam suci di Kadilangu sajalah yang merupakan pusaka mutlak dan tidak boleh hilang. (sumber: De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar