Oleh : Khairul Huda
Kutimang-timang undangan reuni yang sampai ke tanganku. Dikirimkan lewat pos. Jam sepuluh tadi pagi.
Kata-kata reuni, selalu mengingatkan pada sebuah pertemuan teman lama. Memutar kembali kenangan masa silam, yang bahkan telah lewat puluhan tahun. Dan reuni kelas kali ini, dilakukan setelah lewat masa duapuluh tahun selepas SMA dulu di tahun 1981.
Bagaimana keadaan mereka? Bahagiakah? Ukuran bahagia memang sulit. Sering orang melihat kebahagiaan identik dengan kesuksesan. Karir dan posisi yang baik. Memiliki keluarga utuh yang harmonis. Anak-anak yang tumbuh sehat dan lucu-lucu. Itukah bahagia?
Dalam usiaku yang memasuki kepala empat, dengan posisi sebagai eksekutif di sebuah perusahaan pengembang yang secara materi berkecukupan, bahagiakah aku?
Lewat kaca rias dalam kamarku yang mewah, kuamati sosok yang terasa asing dalam cermin. Bayangan seorang perempuan yang masih nampak cantik dan anggun, tetapi pintu hatinya telah terkunci rapat sejak sembilan belas tahun lalu, terhadap semua tamu yang bernama lelaki!
Aku menikah ketika usiaku masih sangat muda. Mas Tori, lelaki yang dijodohkan oleh orangtuaku itu telah benar-benar menjeratku dalam tali cinta, meski cinta itu baru tumbuh setelah aku memasuki dunia perkawinan. Seluruh kebutuhanku sebagai isteri tercukupi. Baik kebutuhan materi maupun immateri.
Setengah tahun usia perkawinan, suamiku ditugaskan membina sebuah bank cabang di kota Solo. Untuk sementara aku ditinggal di Pekalongan, karena di tempatnya yang baru ia belum memiliki rumah. Masih ngontrak.
Pada mulanya seminggu sekali ia pulang. Kemudian dengan alasan kesibukan yang tak bisa ditinggal, ia pulang sebulan sekali. Itu berlangsung sampai tiga bulan. Selama itu pula aku berusaha memahaminya. Bagaimana pun ini demi karirnya.
Memasuki bulan kelima, terbetik kabar ada perempuan lain yang selalu mendampinginya di sana. Itu membuatku tergoda untuk menanyakan langsung padanya ketika pulang.
"Kalau saya menanyakan ini pada Mas, jangan beranggapan bahwa saya hendak usil urusan pribadi Mas. Saya hanya ingin Mas jujur terhadap saya, istri Mas."
"Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang tetap tenang.
"Maksud saya, menurut kabar burung, Mas di Solo selalu didampingi perempuan lain. Benarkah itu?"
"Benar sekali," jawabnya kalem.
Aku terkesiap. Sebegitu terus-terangkah dia?
"Mengapa itu Mas lakukan?" kejarku.
"Karena tanpa perempuan itu, aku tidak bisa bekerja."
"Begitu besarkah arti perempuan itu bagi Mas?"
"Ya. Sangat besar sekali artinya bagiku."
"Cantikkah perempuan itu?" Pertanyaan itu kulontarkan sebagai pembanding. Sebab bila lebih cantik dariku, barangkali aku akan bisa menerimanya sebagai suatu kewajaran. Wajar seorang lelaki tertarik pada perempuan lain yang lebih cantik daripada istrinya.
"Tidak begitu cantik. Tapi cukup menarik."
Tidak begitu cantik, kataku mengulang dalam hati. "Apa yang membuat Mas tertarik padanya?"
"Ia lincah dan serba bisa."
"Apakah ia termasuk pengurus rumah tangga yang baik?"
"Ia belum berkeluarga. Ia masih gadis."
Ada ribuan jarum yang terasa menusuk-nusuk hatiku hingga terluka. Darah sepertinya mengucur deras dari sana. Aku yang di rumah begitu setia menunggu kepulangannya, ternyata telah dikhianati.
"Apakah Mas bermaksud mengawininya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja, dari sela luka hatiku yang berdarah.
Sesaat ia terdiam, sebelum akhirnya menjawab, "Sudah banyak lelaki yang ingin mengawininya, tapi ia belum mau."
Tiba-tiba kemarahan yang telah kutahan di dasar hati, mencuat begitu saja ke ubun-ubun. Dengan suara bergetar aku bersumpah, "Demi Tuhan, Mas. Seandainya sekali saja Mas selingkuh, saya tidak akan pernah dapat memaafkannya. Karena telah kujaga baik-baik hati dan kesetiaanku ini hanya untuk Mas."
Ia tersenyum, lantas mendekapku. "Aku percaya itu," katanya dengan suara datar. "Dan untuk itu aku sangat berterimakasih padamu."
"Tapi perempuan itu...siapa?"
"Dia kasir di bank tempatku bekerja," jawabnya kalem.
Aku terbelalak. "Mengapa tidak Mas katakan dari tadi?"
"Berkata apa?"
"Bahwa perempuan itu adalah kasir bank?"
"Dari tadi kamu tidak menanyakan itu."
Tangisku tumpah di pundaknya. Kupukuli dadanya keras-keras. Aku merasa sangat konyol dan malu.
Tapi berita penyelewengan Mas Tori tak pernah surut. Kepercayaanku padanya pun goyah. Terlebih ketika dalam sakunya kutemukan surat cinta dengan bahasa yang berbunga-bunga, serta sebuah foto dirinya di sebuah resto bersama seorang perempuan.
Foto itu diambil dari samping. Wajah perempuan itu terhalang oleh kepala Mas Tori yang sedang menyuapkan makanan ke mulutnya. Tak begitu jelas. Tapi dari cara duduknya yang begitu dekat, naluriku sebagai perempuan mengisyaratkan bahwa ada kemesraan di antara keduanya.
Sambil memegang foto, dengan menahan kesabaran aku duduk di kursi, dekat ranjang, menunggunya bangun. Tak lama kemudian Mas Tori menggeliat sesaat, sebelum akhirnya... "Ada apa?" tanyanya terbodoh.
"Foto siapa ini?" tanyaku sambil menunjukkan foto itu padanya.
"Fotoku bersama seorang perempuan di sebuah restoran," sahutnya, dan seperti biasanya dengan suara kalem.
"Surat ini?" kutunjukkan surat yang kutemukan di saku celananya, kepadanya. Kukibaskan di depan hidungnya.
"Oh, itu. Itu surat dari perempuan itu."
"Alangkah mesranya," komentarku.
"Memang mesra. Sangat mesra sekali bahkan."
Aku merasa dipermainkan. "Mas masih ingat dengan sumpah saya?"
"Ingat sekali. Aku tak bisa melupakannya. Aku bahkan sangat menyukai sumpahmu itu. Kalimatnya begitu indah. Seumur hidup aku baru mendengarnya sekali. Langsung dari mulutmu sendiri."
Aku memejamkan mata, berusaha menguatkan hati. Kalimat-kalimat Mas Tori yang disuarakan dengan kalem seringkali terasa lebih perih daripada torehan mata pisau yang paling tajam sekali pun. Dan sepasang mataku merebak mendengar pengakuannya.
"Kalau begitu, detik ini juga kita berpisah. Tak ada lagi hubungan di antara kita. Titik!" Itu keputusanku. Dan aku tak lagi mau bicara padanya.
Karena aku tak mau bicara, sebelum pergi ia hanya meninggalkan sebuah surat dalam amplop. Surat yang tak pernah kubuka sampai sekarang.
Sepeninggal Mas Tori, aku merintis karir di bidang pengembangan. Rasa luka dan dendam yang tumbuh dalam hatiku menjadi pendorong kuat, yang membuatku akhirnya bisa sukses.
****
Aku berdiri sendirian di sudut ruang gedung tempat reuni yang penuh kepala-kepala yang membuatku tak bisa mengingat satu-persatu. Wajah-wajah itu sebagian terasa telah berubah, sebagian yang lain masih bisa kukenali dengan baik.
"Hai, Lies!" sebuah suara yang tinggi melengking memaksa kepalaku refleks menoleh. Seorang wanita cantik dengan sanggul yang anggun tergopoh-gopoh mendekatiku.
"Lupa, ya?" Begitu saja tangannya terulur dan memelukku. "Jahat kamu kalau sampai melupakanku!"
"Tyas?" sambutku tak percaya. Dan ketika perempuan itu mengangguk, tawa kami segera pecah. Dua sahabat yang bertemu kembali setelah duapuluh tahun berpisah, benar-benar terasa mengharukan. “Ke mana saja kamu selama ini?”
“Selepas SMA, saya ikut bude ke Solo, dan kerja di sana. Di sebuah bank swasta,” jawab Tyas.
“Wah, sudah jadi wanita karir rupanya?” selorohku. “Di mana suamimu?”
“Sedang beli rokok. Sebentar ia menyusul ke sini,” jawabnya sambil mengedarkan pandang sesaat. Kemudian, “Suamimu?” katanya balik bertanya sambil mengawasiku.
“Aku tidak seberuntung kamu….”
“Maaf….”
Pembicaraan kami terhenti karena seorang lelaki datang mendekat, "Hai," sapanya pada kami.
Aku memandang lelaki itu dengan tertegun. Apalagi saat Tyas menarik lengannya dengan mesra. "Ini suamiku, Lies."
Aku merasa lidahku mendadak kelu. Aku takkan pernah bisa melupakannya. Lelaki itu...Mas Tori! Lututku mendadak terasa menggigil.
"Dia lelaki sukses yang paling kukagumi. Aku memang sangat tergila-gila padanya. Dulu dia pernah menolakku, di saat awal kedatangannya sebagai Kepala Cabang di bank tempatku bekerja. Tetapi...ibarat batu, sekeras apa pun, bila terus-menerus ditetesi air, akan berlobang juga, kan?" Tawa Tyas yang sumringah meninggalkan ribuan jarum beracun dalam dadaku.
Di rumah, aku menumpahkan tangisku di atas bantal. Dan mendadak saja aku tergerak membaca surat yang pernah ditinggalkan Mas Tori padaku menjelang keberangkatannya ke Solo, bertahun-tahun lalu, setelah aku memutuskan untuk berpisah.
Perempuan itu bernama Tyas. Diah Ayuningtyas. Dia mengaku sangat mencintaiku, tetapi aku tak bisa menerimanya. Aku lebih mencintaimu, Lies....***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar