Oleh : Khairul Huda
Nampaknya Ujian Nasional (UN) sekarang ini telah menjadi momok bagi orangtua dan siswa. Sebab, meskipun semua mata pelajaran (mapel) lain yang di-ujian sekolah-kan lulus, jika mapel yang di-UN-kan tidak lulus, maka siswa tetap dinyatakan tidak lulus.
Oleh karena itu, sejak diberlakukan UN, berbagai macam kemasan lembaga bimbingan tumbuh menjamur. Ada lembaga bimbingan besar dan berskala nasional, ada pula lembaga bimbingan kecil berskala lokal. Skala paling kecil adalah bimbingan yang diselenggarakan oleh setiap satuan pendidikan, dengan pembimbing guru mapel (mata pelajaran) UN. Bimbingan yang diselenggarakan meliputi mapel yang di-UN-kan. Semua mengusung satu tujuan, lulus UN.
Di lembaga-lembaga bimbingan seperti itulah dicetak mental-mental siap tanding menghadapi UN (Ujian Nasional). Selain membahas soal-soal latihan ujian, juga dibahas materi-materi esensial sesuai SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yang memang sudah diedarkan secara luas oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Materi yang tidak sesuai dengan SKL disisihkan, karena hanya membuang-buang waktu saja secara percuma.
Ujian dari waktu ke waktu
Jika kita menoleh ke belakang, saat diberlakukannya Ujian Negara (1945-1975), di mana waktu itu mulai dari penyiapan bahan, pelaksanaan maupun penetapan kelulusan dilakukan oleh pemerintah, secara kuantitas jumlah kelulusan sangat rendah, tetapi secara kualitas, mutu lulusan sangat baik.
Keadaan sebagaimana tersebut di muka menuai kritik dari masyarakat, karena ketidakmampuan lembaga pendidikan menyediakan skill labour dalam jumlah besar secara cepat, yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang sedang membangun.
Memenuhi aspirasi masyarakat, tahun (1971-1983), sistem Ujian diubah menjadi Ujian Sekolah (US). Jika dalam Ujian Negara penyelenggaranya adalah pemerintah, maka US sepenuhnya dilaksanakan oleh sekolah mulai dari penyiapan bahan, pelaksanaan sampai pada penetapan kelulusan. Pada periode ini tidak ada batas lulus.
Hasil US sungguh luar biasa. Tingkat kelulusan tiap satuan pendidikan hampir 100%. Lembaga pendidikan secara cepat mampu menghasilkan lulusan dalam jumlah besar. Tapi sayang, dari sisi kualitas, mutu kelulusan US dinilai sangat rendah.
Pelaksanaan US ‘kembali’ menuai kritik dari masyarakat, akhirnya tahun 1983-2002, Sistem tersebut diperbaiki dengan sistem EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).
Sistem penilaian dalam EBTANAS untuk menentukan kelulusan, digunakan rumus PQR. P=nilai semester 1, Q=nilai semester 2, R=nilai Ebtanas. Dengan menyertakan nilai P dan Q diharapkan mampu menepis monopoli penilaian sepihak, oleh pemerintah saja atau oleh sekolah saja.
Dalam perjalanannya, ketika seseorang siswa memperoleh nilai EBTANAS rendah sementara menurut pertimbangan sekolah siswa tersebut ‘layak’ untuk lulus, maka dilakukanlah mark up terhadap nilai P dan Q. Misalnya batas lulusan rata-rata minimal adalah 6,0, sementara seorang siswa peserta EBTANAS memperoleh nilai 2,0. Agar siswa lulus maka nilai P dan Q harus berjumlah 16. Bisa masing-masing mendapat nilai 8 atau nilai P=9 dan Q=7.
Penilaian menggunakan sistem PQR, membuat jurang yang sangat dalam antara nilai yang tertulis dalam rapor dan kenyataan lapangan. Artinya bahwa nilai rapor yang seharusnya mencerminkan kemampuan anak, menjadi tidak berarti. Sistem PQR telah mengaburkan perbedaan siswa yang pintar dan yang bodoh, karena semua lulus dengan nilai rapor yang baik.
Kualitas lulusan yang rendah, menciptakan SDM (Sumber Daya Manusia) yang rendah pula. Menurut UNDP (United Nation Development Program), Indonesia menduduki peringkat ke 107 dalam daftar indeks SDM di antara 177 negara yang disurvey (2006).
Kedudukan Indonesia tersebut berada di bawah negara-negara tetangga. Singapura (peringkat ke 25), Brunai Darussalam (peringkat ke 30), Malaysia (peringkat ke 63), Thailand (peringkat ke 78), Philipina (peringkat ke 90), dan Vietnam (peringkat ke 132).
Indeks pengembangan SDM ditentukan di antaranya oleh faktor pendidikan yang telah dijalani seseorang.
Pendidikan bermutu
Untuk mengembangkan SDM bermutu, haruslah dimulai dari pendidikan yang bermutu pula. Pendidikan dikatakan bermutu jika lulusan yang dihasilkan menguasai sejumlah kompetensi yang disyaratkan. Biasanya yang dijadikan tolok ukur adalah penguasaan kompetensi sains. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu pulalah pemerintah menyelenggarakan UN.
Dasar hukum penyelenggaraan UN 2010 adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010, dan Permendiknas Nomor 84 Tahun 2009 tentang Perubahan Permendiknas Nomor 75 tahun 2009.
Permendiknas nomor 75 tahun 2009 pasal 20 mengamanatkan bahwa: (1) peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan: a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya, b) khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN, (2) Pemerintah Daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat 1, sebelum pelaksanaan UN, (3) Peserta UN diberi surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara.
Rencananya, untuk meningkatkan kualitas lulusan, secara bertahap pemerintah menaikkan standar kelulusan. Itu sudah dibuktikan pada perubahan nilai rata-rata minimal 5,25 menjadi 5,50. Minimal 4,00 menjadi 4,25. Sedang untuk mengatasi peserta ujian tidak lulus, jika pada UN dua tahun terakhir mereka diikutsertakan dalam Ujian Kesetaraan Paket B dan Paket C, maka pada UN 2010, mereka diberi kesempatan mengikuti Ujian Ulangan.
Perbaikan terus-menerus yang dilakukan pemerintah terhadap sistem penyelenggaraan UN yang kredibel dan jujur, patut kita sikapi tanpa curiga. Karena sebenarnyalah UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil UN kelak digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk : a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Pekalongan, 20 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar