Masjid merupakan rumah Allah yang
mulya, bahkan juga dikatakan bahwa tempat yang paling baik di dunia adalah
masjid itu sendiri. Seseorang yang masuk masjid diperintahkan untuk menjaga
adab-adab masuk ke dalam masjid, diantaranya adalah shalat untuk menghormati
sebagai penghormatan atas masjid, atau shalat tahiyatul masjid.
Shalat tahiyatul masjid
disyariatkan pada setiap waktu ketika masuk masjid dan hukumnya adalah sunnah
yang dilakukan sebanyak dua raka’at. Imam al-Nawawi didalam al-Majmu’
berkata : “Disunnahkan bagi seseorang yang masuk masjid melaksanakan shalat
sebanyak 2 raka’at yaitu shalat tahiyatul masjid”
Kesunnahan shalat tahiyatul masjid didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam :
Kesunnahan shalat tahiyatul masjid didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam :
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka shalat dua raka’at sebelum duduk” (HR. Imam al Bukhari dan Muslim)
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga melaksanakan shalat dua raka’at” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini pula, makruh duduk dimasjid sebelum melakukan shalat tahiyatul masjid bila tanpa ada udzur. Shalat tahiyatul masjid juga tidak dibatasi oleh waktu-waktu yang dilarang shalat seperti setelah ‘Ashar dan sebagainya.
Imam al-Nawawi didalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan : “Didalam hadits tersebut mengandung anjuran melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebanyak dua raka’at, itu hukumnya sunnah berdasarkan ijma’ kaum muslimin, namun ada pendapat berbeda yang diceritakan oleh al-Qadli ‘Iyadl dari Daud adh-Dhohiri dan ashhabnya yang menghukumi wajib. Didalam hadits tersebut juga mengandung pernyataan kemakruhan duduk tanpa melakukan shalat terlebih dahulu, makruh yang dimaksud adalah makruh tanzih (makruh yang tidak berdosa). Selain itu, hadits tersebut juga mengandung anjuran shalat tahiyatul masjid kapanpun ketika memasuki masjid, inilah madzhab kami (Syafi’iyah), ini pula yang dipegang oleh jama’ah ulama. Namun, Abu Hanifah, al-Awza’iy dan al-Laits menghukumi makruh melaksanakan shalat tahiyatul masjid pada waktu-waktu yang terlarang. Terkait pernyataan ini, ashhab kami (ulama Syafi’iyah kami) memberikan tanggapan bahwa larangan tersebut adalah umum yang tanpa adanya sebab, karena Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam pernah shalat setelah ‘Ashar (ba’da Ashar adalah waktu yang dilarang shalat, penj) sebanyak 2 raka’at untuk mengqadla’ shalat sunnah Dhuhur. Maka khusus waktu terlarang, diperbolehkan shalat padanya apabila memiliki sebab. Dan shalat tahiyatul masjid tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun bahkan Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa sallam ketika khutbah di hari jum’at memerintahkan orang yang masuk masjid kemudian duduk supaya berdiri kembali kemudian shalat dua raka’at, meskipun shalat disaat khutbah sedang berlangsung itu dilarang namun dikecualikan shalat tahiyatul masjid”.
Didalam al-Majmu’, Imam al-Nawawi juga berkata : “Ulama sepakat atas kesunnahan tahiyatul masjid dan memakruhkan duduk tanpa melakukan shalat tahiyatul masjid bila tanpa adanya udzur”.
Ketika Shalat dan Khutbah
Apabila seseorang masuk masjid sedangkan shalat jama’ah akan dirikan atau shalat sudah dirikan setelah memasuki masjid dan belum melaksanakan shalat tahiyatul masjid, maka tidak perlu shalat tahiyatul masjid, sebaliknya mengikut pelaksanakan shalat fardlu, karena pahala shalat tahiyatul masjid telah diperoleh dengan langsung shalat fardlu tersebut.
Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda:
“Apabila akan didirikan shalat (iqamah diserukan), maka tidak ada shalat kecuali shalat maktubah”.
Apabila ketika seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedangkan imam sudah berada diatas mimbar, maka tetap disunnahkan melaksanakan shalat tahiyatul masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, maka tetaplah shalat dua raka’at, kemudian duduk” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Imam Al-Nawawi didalam kitab al-Majmu’ berkata: “Madzhab kami (Syafi’iyah) menganjurkan bagi seseorang yang masuk masjid pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah agar tetap melaksanakan shalat dua raka’at tahiyatul masjid serta meringankan shalatnya, dan makruh baginya meninggalkan shalat tahiyatul masjid. Inilah yang dipegang oleh al-Hasan al-Bashri, Makhul, al-Maqburi, Sufyan bin ‘Uyaynah, Abu Tsaur, al-Humaidi, Ishaq, Ibnu Mundzir, Daud dan yang lainnya. Sedangkan ‘Atha’ bin Abi Rabah, Syuraikh, Ibn Sirin, al-Nakho’i, Qatadah, Malik, al-Laits, Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah dan Sa’id bin Abdul ‘Aziz berpendapat tidak dianjurkan shalat apapun. Pendapat berbeda juga dikemukakan oleh Abu Majlaz bahwa jika ingin shalat maka shalatlah, jika tidak, ya tidak”.
Namun apabila imam sudah akan mengakhiri khutbahnya, maka tidak boleh shalat sebab tepat waktu mengawali shalat bersama imam itu fardlu maka tidak boleh menyibukkan dengan sesuatu yang sunnah.
Telah dijelaskan diatas bahwa shalat tahiyatul masjid dilakukan sebanyak dua raka’at berdasarkan hadits. Namun, apabila shalat tersebut dilakukan lebih dari dua raka’at dengan satu kali salam maka itu boleh sebagaimana disebutkan didalam kitab Al Majmu' Imam al-Nawawi, sebab itu termasuk penghormatan pada masjid karena terperinci atas dua raka’at. Akan tetapi, bila berupa shalat Jenazah, sujud tilawah atau sujud syukur, atau shalat 1 raka’at maka itu tidak cukup sebagai penghormatan atas masjid.
Dalam hal niat, tidak disyaratkan niat tahiyatul masjid, bahkan boleh shalat dua raka’at dengan niat shalat mutlaq, niat shalat sunnah rawatib dua raka’at atau selain rawatib, niat shalat fardlu mu’adah (i’adah), shalat qadla’ ataupun shalat nadzar, semua itu sudah mencukupi, dan memperoleh pahala shalat yang diniatkan serta pahala tahiyatul masjid.
Masuk Masjid Berulang Kali
Bagaimana bila seseorang bolak balik masuk keluar masjid pada suatu waktu, apakah shalat tahiyatul masjid cukup satu kali?. Imam al-Nawawi didalam Al Majmu’ berkata: “Seandainya berulang-ulang masuk masjid pada suatu waktu, shahibut Tatimmab berkata: dianjurkan melakukan shalat tahiyatul masjid setiap kali masuk, sedangkan al-Mahamili didalam al-Lubab berkata : aku berharap telah mencukupi shalat tahiyatul masjid sekali saja, sedangkan pendapat yang pertama lebih kuat dan lebih dekat pemahamannya dengan dhahir hadits”