SITUS ROGOSELO
SISA-SISA
PENINGGALAN HINDU DI PEKALONGAN
Oleh: Khairul Huda*)
Doro adalah sebuah kota
kecamatan kecil yang berada di arah timur kota Kabupaten Pekalongan yang
berpusat di Kajen. Sebagai kota kecil yang berada di bawah kaki gunung
Rogojembangan, Doro memiliki suhu relatif sejuk.
Selain tanaman industri
seperti karet, pinus dan teh, Doro juga dikenal sebagai penghasil buah durian
dan rambutan, bersanding dengan kecamatan Karanganyar di sebelah barat, serta
kecamatan Talun di sebelah timur. Secara umum wilayah Doro lebih didominasi
area perkebunan daripada area pertanian.
Di tengah area
perkebunan karet, di desa Rogoselo, terdapat sebuah situs (areal temuan benda
purbakala), yang dikenal oleh masyarakat sebagai patung Baron Sceber.
Keberadaan patung Baron
Sceber, telah melahirkan cerita rakyat yang kental dengan hal-hal irrasional.
Misalnya cerita tentang pertarungan antara Baron Sceber dengan Ki Ageng Atas Angin
atau Ki Ageng Penatas Angin, biasa juga disebut Ki Penatas Angin.
Sekilas Legenda
“Baron Sceber”
Baron van Sceber, begitu nama
lengkapnya, adalah seorang prajurit
dari Spanyol. Baron Sceber merasa iri
kepada kakaknya yang menjadi raja, sementara dari tahun ke tahun ia hanya
menjadi
prajurit biasa. Karena ambisinya menjadi
raja, ia memutuskan mengembara mencari daerah baru, menaklukkan
rajanya, kemudian menjadi penguasa di
daerah baru tersebut.
Dalam
pengembaraannya, untuk memenuhi ambisinya, Baron Sceber mengabdi pada Belanda yang
memiliki daerah jajahan sangat luas di nusantara.
Pengabdiannya
pada Belanda membawanya ke tanah Jawa. Ambisinya menjadi raja yang
meledak-ledak, membawanya ke depan Pendopo Agung kerajaan Mataram
Di depan Pendopo Agung, Baron Sceber menantang Panembahan Senapati dengan
taruhan yang menang akan menjadi penguasa di Jawa. Dalam pertarungan sengit,
Baron Sceber kalah dan melarikan diri ke Pati.
Di Pati, Baron berulah kembali dan menantang Adipati Jaya Kusuma.
Pertarungan tidak dapat dielakkan. Kembali
Baron kalah, lantas melarikan diri ke Pekalongan disusul oleh istrinya yang datang sambil menggendong bayi.
Sampai di tepi sungai Nggoromanik, di Pekalongan, Baron bertemu
dengan Ki Ageng Atas Angin. Ambisi Baron
menjadi penguasa tak pernah padam, karena itu terhadap Ki Ageng Atas Angin pun dia melayangkan
tantangan.
Tantangan pertama berupa
pertarungan udara. Dalam pertarungan udara ini Baron menggunakan pesawat yang
cukup canggih di masa itu. Baron merasa unggul berada di udara, karena dia
pikir Ki Ageng Atas Angin tak mungkin bisa mengimbanginya.
Tetapi yang terjadi
sungguh di luar dugaan, karena tiba-tiba saja tubuh Ki Ageng Atas Angin melesat
ke udara, dan pertarungan di atas udara pun tak terelakkan.
Dalam pertarungan udara
yang berlangsung seru, Ki Penatas Angin berhasil memaksa Baron Sceber turun ke
darat. Belum puas atas kekalahannya dalam pertarungan udara, Baron melanjutkan
dengan pertarungan darat. Dalam pertarungan darat pun Baron menelan kekalahan.
Akhirnya sebagai pertarungan pungkasan atau terakhir, diputuskan untuk diadakan adu kesaktian dengan cara
menyelam di dasar sungai. Pertarungan jenis ini
pun dimenangi oleh Ki Ageng Penatas Angin.
Baron Sceber benar-benar
orang yang keras kepala, ia tetap tidak mau menyerah dan merencanakan jenis
pertarungan baru. Tapi sebelum ia melaksanakan niatnya, Ki Ageng Penatas Angin
sudah hilang kesabaran dan mengutuknya menjadi batu.
Istrinya yang terkejut
melihat perubahan tubuh suaminya menjadi batu, ia menjerit histeris seraya
berlari memeluk tubuh suaminya. Karena perbuatannya itu, akhirnya ia juga ikut
menjadi batu.
Sampai sekarang ada dua
patung (arca) batu di situ. Satu patung diyakini sebagai patung Baron Van
Sceber, patung satunya lagi diyakini sebagai patung Nyi Baron Sceber.
Penamaan Tempat
Keberadaan patung berupa
tubuh (Bhs. Jawa: raga/rogo) yang terbuat dari batu (Bhs. Jawa: selo), telah
melahirkan nama tempat tersebut menjadi Rogoselo, yang berarti tubuh dari batu.
Secara
fisik patung Baron Sceber ini hanya berupa patung setengah
badan, dibuat kasar dengan bentuk kepala besar dan sepasang mata yang dipahat melotot lebar (menyerupai raksasa dalam
dongeng-dongeng).
Gambaran patung yang
demikian juga mirip dengan deskripsi wajah tokoh buto dalam dunia pewayangan. Karena itu orang
juga menyebut nama situs tersebut dengan nama situs Watu
Buto.
Kearifan Lokal
Kajian dari versi cerita rakyat (juga
dalam Babad Baron Scender di Cirebon) akan menisbikan fakta: Bagaimana halnya
dengan keberadaan batu lumpang, menhir, dan
lingga-yoni serta umpak-umpak yang terdapat
dalam area situs?
Temuan barang-barang
lain di area situs menunjukkan bahwa ada korelasi tak terpisahkan antara patung
dengan barang-barang lain tersebut.
Korelasi antara cerita
rakyat dengan keberadaan situs merupakan kearifan lokal yang berfungsi menjaga
keselarasan budaya lokal dalam persinggungannya dengan budaya dari luar.
Kajian secara ilmiah dengan mendasarkan
pada fisik patung dan benda-benda lain dalam area situs akan memberikan
pencerahan bagi peran serta wilayah Pekalongan dalam catatan sejarah awal
hubungan Indonesia–India dan masuknya pengaruh Hindu/Budha di Indonesia.
Akulturasi Budaya
Interaksi yang kemudian menjelma menjadi
akulturasi budaya antara Indonesia–India (salah satunya) dapat dilihat dari
situs Rogoselo. Fakta ini dapat dipahami mengingat pantai utara Jawa merupakan
jalur perdagangan kuno antara India–Cina–Indonesia. Meskipun jarang diungkap
dalam pembahasan sejarah, tetapi bukti-bukti tertua anasir-anasir Hindu/Budha
telah berkembang seiring dengan perkembangan budaya lokal.
Mustahil, jika
pengaruh Hindu/Budha dari India mengarah pada daerah dataran Tinggi Dieng dan
Kedu tanpa melalui perantara daerah-daerah pesisir. Dengan beranalogi pada
cerita rakyat Aji Saka sesungguhnya dapat ditelisik bahwa Aji Saka meninggalkan
Sembada di sebuah daerah (pesisir?) untuk selanjutnya berjalan ke arah selatan
bersama Dora. Makna yang tersirat dari cerita rakyat ini memberikan gambaran
awal-mula persentuhan budaya/agama Hindu/Budha di daerah-daerah pesisir yang
menjadi jalur perdagangan.
Jika prasasti
Sojomerto di kecamatan Reban dianggap sebagai “sabda Aji Saka” (yang kemudian
dikenal sebagai huruf Jawa), dikaitkan
dengan situs Ganesha di Wonotunggal, prasasti di Blado, Yoni di Talun, situs
Gedong dan Nagapertala, dan situs Rogoselo, maka pengkajian sejarah lokal masuknya
pengaruh Hindu/Budha di daerah Pekalongan akan dapat memberikan kontribusi bagi
penulisan sejarah ulang sejarah Indonesia Masa Hindu/Budha.
Legalitas Situs
Situs ”Baron Sceber” atau situs Watu Buto terletak di dukuh Kaum desa
Rogoselo, terletak kurang lebih 14 km ke arah Barat Daya kecamatan Doro. Berada
di hutan karet milik PTP IX Blimbing.
Situs ”Baron Sceber” berupa: batu lumpang, dua buah patung dwarapala, lingga-yoni, umpak-umpak dan menhir. Nama situs ”Baron Sceber”
diambil dari legenda yang berkembang di
masyarakat yang menyebutkan patung ini
merupakan penjelmaan dari seorang prajurit Belanda yang bernama Baron Van Sceber dan istrinya yang
dikutuk Ki Ageng Atas Angin akibat kalah perang.
Dalam buku Daftar Inventaris Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun 1987/1988 (hal. 144) disebutkan
bahwa di dukuh Alas Sikaum, desa Rogoselo, kec. Doro terdapat arca Polynesia
dengan tinggi 147 cm, lebar 110 cm dan berbahan dasar batu andesit.
Adapun ciri-ciri Arca Polynesia tersebut antara lain: 1) tangan kanan
memegang benda seperti kendi, 2) tangan kiri memegang semacam gada, 3) bentuk
telinga tidak jelas tetapi nampak memakai anting-anting, 4) hiasan rambut
digelung dan sebagian terjurai hingga menutup punggung, 5) bentuk wajah tidak
jelas, dan 6) diperkirakan dibuat pada
periodesasi kurang lebih abad V M.
Dalam daftar inventaris yang dibukukan oleh Proyek Inventarisasi Sejarah
dan Peninggalan Purbakala ini, hanya disebutkan adanya sebuah patung, sementara
patung yang lebih pendek, menhir, batu lumpang, dan lingga yoni tidak
tertuliskan. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena pada tahun penerbitan
(1987/1988), benda-benda purbakala yang disebutkan terakhir belum
ditemukan.
Pelestarian dan Pemanfaatan Situs
Mengingat
begitu penting artinya keberadaan situs sebagai cagar budaya, maka perlu adanya upaya
penyelamatan terhadap benda-benda peninggalan budaya agar dapat menjadi
kebanggan bangsa dan sekaligus menjadi sumber pembelajaran dan penelitian bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Upaya penyelamatan
yang dimaksud berupa: Pertama,
perawatan. Perawatan intensif diperlukan mengingat bahwa benda-benda peninggalan
budaya dapat hancur di alam terbuka.
Kerusakan benda-benda peninggalan budaya
yang disebabkan oleh faktor alam, kondisi iklim yang selalu berubah-ubah selama
berabad-abad, perlu mendapat perhatian serius.
Perawatan yang minim,
menyebabkan situs “Baron Sceber” ditumbuhi lumut yang akan mempercepat proses
kerusakan. Lebih memprihatinkan lagi adalah batu lumpang dan lingga-yoni yang berada di luar
pagar. Keduanya tertutup semak sehingga tidak semua orang dapat mengenalinya sebagai situs sejarah.
Kedua, keamanan. Keamanan diperlukan sebagai upaya penyelamatan
benda-benda budaya dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab. Akibat kurangnya keamanan, banyak
peninggalan budaya yang raib dicuri orang. Pencurian
terjadi karena benda-benda tersebut memiliki nilai
sejarah yang tidak
tergantikan dengan benda serupa yang dibuat pada masa sekarang. Akibatnya banyak orang
yang tergiur karena nilai
ekonomisnya yang kadang tidak masuk akal.
Mengenalkan kepada
masyarakat tentang benda peninggalan sejarah bukan berarti memberi peluang bagi
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk sekehendak hati mencuri
benda-benda tersebut.
Mengenalkan yang dimaksud adalah menyosialisasikan pemanfaatan benda-benda
bersejarah kepada siswa dan guru serta masyarakat sebagai sumber pembelajaran
dan penelitian, yang akhirnya dengan belajar dari sejarah, akar kebudayaan bangsa Indonesia akan tetap terjaga
sebagai jati diri bangsa.
Situs “Baron Sceber”
Situs “Baron Sceber” terletak
14 kilometer dari kecamatan Doro atau sekitar 35 kilometer dari pusat Kota
Pekalongan ke arah Selatan, tepatnya
berada di kawasan perkebunan PTP IX Blimbing di dukuh Kaum, desa Rogoselo.
Secara geografis daerah ini diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Sengkarang di bagian Barat dan sungai Welo di
bagian Selatan. Kedua sungai ini berhulu di pegunungan Kendeng.
Memasuki areal situs, terbentang sungai Nggoromanik (anak cabang sungai
Welo), yang dalam legenda diceritakan sebagai tempat berlangsungnya pertarungan antara Baron Sceber dengan Ki
Ageng Atas Angin. Benda-benda peninggalan
budaya yang terdapat pada situs ”Baron Sceber”, antara lain:
1.
Batu
Lumpang
Bentuknya bulat, dengan diameter 84 cm, tinggi 49 cm,
pada bagian tengah terdapat lubang
dengan kedalaman 20 cm. Oleh masyarakat
disebut sebagai Batu Lumpang karena bentuknya yang menyerupai lumpang atau alat penumbuk padi. Fungsi
sesungguhnya dari benda ini belum
diketahui secara pasti.
2.
Patung
”Baron Sceber” dan istrinya
Terdapat dua buah patung batu, yang satu menghadap
ke arah sungai, tinggi 146 cm, lingkar
kepala 189 cm, lingkar badan 305 cm.
Sementara yang
sebuah lagi terletak 3 meter dari patung pertama, arah kiri, tinggi 87 cm, lingkar kepala 175 cm, lingkar
badan 237 cm. Kedua patung ini (seperti) dalam keadaan setengah jongkok. Hiasan
atau ornamen pada kedua patung tampak kasar dan sudah aus termakan usia. Bagian kepala bergelung, kedua
mata melotot, tangan kanan membawa gada (oleh masyarakat dikatakan sedang
menggendong bayi) dan tangan kiri agak ditekuk ke belakang. Hal yang agak aneh, di antara kedua patung terdapat batu mirip menhir
(jaman Megalithikum), bergaris melingkar
sejajar pada ujungnya.
3. Umpak–umpak
atau batu pondasi.
Dari situs patung,
ke arah Timur pada tanah yang agak
tinggi, berjarak 20 sampai 30 meter. Di tempat ini terdapat
tiga buah umpak–umpak, satu dalam
keadaan utuh dengan sisi 61 cm, tinggi 27 cm, pada bagian tengah terdapat lubang. Dimungkinkan lubang
ini untuk menyangga kayu sebagai bagian dari tubuh
candi. Satu umpak–umpak dalam keadaan
rusak dan satu lagi hanya sebagian yang terlihat di bawah akar pohon.
4. Lingga-yoni
Pada tepi
tanah agak tinggi
ke arah Timur, terdapat lingga yoni yang
tersembunyi di bawah rumpun bambu dengan kondisi semakin aus. Secara fisik tinggi yoni 71 cm, sisi bagian
bawah 24 cm, dan sisi bagian atas 30 cm.
Sedang lingga bergaris tengah 68 cm, dan tinggi 72 cm dipahat secara kasar.
Dalam mitologi
Hindu, lingga yoni diumpamakan sebagai alat kelamin laki-laki dan perempuan menggantikan
keberadaan Dewa Syiwa dalam sebuah candi
utama untuk melambangkan kesuburan.
5. Menhir
Kurang lebih 1 km
dari lingga yoni ke arah timur, terdapat
tugu–tugu monolith seperti tugu batu
peringatan pada jaman Megalitikum.
Sayangnya, sekarang sudah dibangun
cungkup besar yang tidak boleh dibuka
untuk umum. Pertanyaannya, mengapa keberadaan lingga yoni (kebudayaan masa Hindu) dapat bersebelahan
dengan hasil kebudayaan Megalithikum,
yang merupakan hasil budaya zaman prasejarah? Dimungkinkan
telah terjadi akulturasi kebudayaan antara Hindu dan kebudayaan zaman Megalithikum. Untuk memastikan adanya korelasi antara keduanya,
tentunya diperlukan penelitian lanjutan yang lebih intensif oleh ahli terkait.
Simpulan
Dari uraian di muka dapatlah disimpulkan, bahwa: 1) Situs ”Baron Sceber” terletak di Dukuh Kaum Desa Rogoselo Kecamatan Doro Kabupaten
Pekalongan, di perkebunan karet milik PTP IX Blimbing, 2) Dalam Situs ”Baron Sceber” terdapat benda-benda
bersejarah seperti batu lumpang, lingga yoni, dua patung dwarapala,
dan umpak-umpak membuktikan persinggungan budaya asli dengan anasir-anasir
Hindu secara damai, 3) Untuk menjaga kelestarian situs dibutuhkan perawatan
intensif sehingga benda purbakala yang ada di dalamnya terhindar dari kerusakan
karena faktor alam dan juga terhindar dari jarahan tangan-tangan jahil, 4)
Pemanfaatan benda purbakala di area situs sebagai sumber belajar sejarah dan
sumber penanaman nilai-nilai kebangsaan bagi siswa, guru dan masyarakat, 5)
Memelihara kearifan lokal yang ada untuk menjaga keselarasan antara alam,
manusia, Tuhan beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Doro, 7 Maret 2013
*) Khairul Huda, Pengajar Mata Pelajaran IPS di SMP 1 Doro
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. 2003. Laporan Pembuatan Album
Kepurbakalaan. Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Ricklefs, M.C, 1999, Sejarah Indonesia Modern
(diterjemahkan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sekretariat Pemerintah Kabupaten
Pekalongan. 2005. Kajen Bangkit
Membangun. Pekalongan:
Sekretariat Pemerintah Kabupaten
Pekalongan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran
1: Peta wilayah kecamatan Doro


Lampiran 2: Denah
Situs Baron Sceber
|
|
|
|
|


Foto 1: Batu Lumpang
![]() |
Foto 2, 3, 4: Situs Rogoselo dilihat dari kejauhan, arca Baron Sceber dan arca ”istri Baron Sceber”.
![]() |
Foto 5: Lingga dan yoni

Foto 6: Menhir dengan garis sejajar
melingkar
![]() |
Foto 7: Umpak-umpak atau pondasi bangunan